Monday, November 5, 2012

Indonesia 2030: Indonesia Suasembada Garam Berkualitas Internasional


Ahmad Rifai
Pendidikan Kimia 2011 Universitas Negeri Semarang
Secara fisik Indonesia merupakan negara kepulauan tebesar di dunia. Pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua serta ribuan pulau lain, membentang menyediakan tanah dan kekayaan untuk manusia serta berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Perairan laut yang luas menghubungkan pulau-pulau tersebut. Baik laut dangkal maupun dalam, mengandung berbagai macam kekayaan yang mampu menjadi potensi perekonomian bangsa. Terumbu karang, rumput laut, ikan, udang, mutiara, kerang, mangrove dan biota laut lain tumbuh dan berkembang secara beriringan menandakan  betapa subur dan kayanya Indonesia.
Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km atau 14% garis pantai seluruh dunia, di mana 2/3 wilayah Indonesia berupa perairan laut. Jumlah pulau Indonesia  sekitar 17.500 pulau dan sekitar 6.000 saja yang berpenduduk. Luas laut kedaulatan 3.1 juta km2. Luas laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2.7 juta km2. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa zona pesisir dapat menopang kehidupan 60% penduduk Indonesia.
Salah satu potensi yang dimiliki daerah pesisir adalah tambak garam, mengingat luas wilayah laut Indonesia yang demikian luas. Selain itu, iklim di Indonesia tergolong mumpuni terhadap pertambakan garam, yang notabene membutuhkan cuaca panas dalam jangka waktu cukup lama, guna proses pengkristalan air laut menjadi garam.
Melihat potensi yang besar, pada kenyataannya Indonesia masih mengimpor garam dari negara lain yang besarnya mencapai 100%. Sungguh ironi, mengingat Indonesia secara syarat tergolong negara yang mampu suasembada garam tiap tahunnya, melihat semua faktor pendukung pertambakan garam sudah terpenuhi.
Untuk menindaklanjuti kenyataan di lapangan, dibutuhkan penelitian dan pengawasan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi ketergantungan kebutuhan garam terhadap produksi garam dari negara-negara lain, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan perbaikan untuk menciptakan negara Indonesia yang suasembada garam tiap tahunnya. Faktor yang pertama disorot adalah faktor campur tangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai masalah ini. Kebijakan pemerintah terhadap sektor garam industri lemah dan kurang integratif. Selama ini industri garam tidak dikelompokkan ke dalam barang strategis, padahal kebutuhan domestik sangat besar dan keberadaannya sangat vital dalam mencukupi kebutuhan dasar rakyat.
Jika kita pahami betul Undang-undang dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka upaya yang selama ini dilakukan pemerintah perlu ditingkatkan, karena belum memaksimalkan upaya pensejahteraan rakyat dari potensi alam Indonesia, khususnya tambak garam.
Sebenarnya ada tiga syarat utama dalam memproduksi garam sesuai standar. Hal ini sesuai dengan informasi yang diposting dalam warta ekonomi. Pertama, air laut yang merupakan bahan baku garam harus memiliki kadar garam yang tinggi. Untuk memperoleh kadar  tersebut, pantai sebagai sumber utama tidak boleh memiliki muara agar air laut tetap jernih. Serta pasang surut air laut yang mencapai permukaan tidak lebih dari 2 meter. Kedua pantai atau daratan yang digunakan sebagai ladang penggaraman utama dengan tinggi 3 meter di atas permukaan laut sehingga air laut tidak boleh merembes ke dalam tanah. Ketiga iklim. Curah hujan di suatu pantai maksimal berkisar 1.000 milimeter-1.300 milimeter (mm) per tahun dengan tingkat kemarau kering berkelanjutan 4 bulan per tahun.
Karena standar inilah yang membuat Indonesia memilih sebagai importir saja kareana menganggap dirinya tidak memenuhi ketiga syarat tersebut. Indonesia tercatat mampu menghasilkan 1,2 juta ton dari total produksi garam dunia sekitar 240 juta ton per tahun. Di urutan pertama China sebagai produsen terbesar dengan total produksi 48 juta ton, diikuti India dengan 16 juta ton. Australia 12 juta ton, Thailand dengan 3 juta ton, dan Jepang 1.4 juta ton.
Dari data di atas, Jepang sebagai negara yang memiliki empat musim dan memiliki banyak muara sungai mampu menghasilkan garam lebih banyak dari Indonesia, begitu pula dengan Australia yang mampu mengekspor garam ke Indonesia sebanyak 1.7 juta ton dengan nilai US$ 85.95 juta pada periode Januari-November 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki orientasi yang jelas sehingga pasrah dengan kondisi alam tanpa berupaya meningkatkan teknologi dan inovasi dalam meningkatkan produksi garam industri. Alasan Jepang dan Australia mampu memproduksi garam melebihi Indonesia dikarenakan mereka memiliki kemauan sehingga pada akhirnya tercipta teknologi yang mampu mendukung produktivitas garam industri.
Selain faktor dari kebijakan pemerintah faktor yang menyebabkan Indonesia belum berhasil memaksimalkan potensi garam adalah adanya ‘permainan kotor’ di balik perdagangan garam di tingkat petani yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan garam. Mereka membeli garam dari pihak petani dengan harga jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Selain itu, mereka melakukan kecurangan dalam menimbang berat garam saat pembelian. Salah satu perusahaan yang melakukan kecurangan adalah PT Garam Indonesia. Seperti diberitakan Poskota.com.
Terkait permainan harga ini, perusahaan milik negara tersebut telah melanggar ketentuan pembelian harga garam yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Garam dengan kualitas produksi (KP) satu, hanya dihargai Rp 550 per kilogram (kg). Padahal harga garam menurut Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 tentang penetapan harga penjualan di tingkat petani garam untuk KP satu seharusnya Rp 750 per kg. PT Garam juga dianggap melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7/2010 serta Peraturan Gubernur (Pergub) Jatim Nomor 78/2011 terkait pembelian garam ke petani. PT Garam juga melakukan kecurangan saat menimbang berat garam. Karung yang hanya berisi 50 kilogram diisi hingga 55 kilogram. Terlebih lagi, PT Garam Indonesia sengaja tidak menyediakan fasilitas timbangan saat melakukan transaksi dengan petani garam.
Kembali lagi masalah karakter bangsa dipertanyakan dalam hal ini. Masih banyak orang Indonesia yang lebih mementingkan ego mereka dibandingkan dengan kemaslahatan negrinya. Mereka  berusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pembelian garam di tingkat petani, tanpa mempertimbangkan kerugian yang akan timbul baik yang berimbas pada pihak petani maupun negara yang nantinya mengeluarkan kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan garam akibat masih rendanya kualitas garam nasional. Perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah dan pihak yang berwenang mengenai kecurangan yang terjadi di lapangan.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi garam Indonesia masih berkualitas rendah adalah minimnya jumlah ahli di bidang garam. Kita tahu bahwa dengan minimnya jumlah cendikiawan yang paham tentang pengolahan garam yang baik bedampak pula pada sedikitnya jumlah garam berkualitas tinggi yang dapat dihasilkan. Kebanyakan petani garam menggunakan cara konvensional dan tradisional yaitu dengan teknik penguapan air laut dengan alat seadanya. Pemikiran-pemikiran cerdas dari para ahli garam seharusnya disosialisasikan kepada para petani agar pemikiran mereka lebih terbuka mengenai cara meningkatkan kualitas garam dengan teknologi yang tepat guna.
Teknologi tepat guna dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas garam rakyat dengan mengendapkan senyawa kalsium, magnesium dan sulfat yang terdapat dalam garam rakyat. Kandungan ketiga senyawa itu relatif tinggi sehingga perlu diendapkan. Dengan mengurangi ketiga senyawa itu, kandungan NaCl dapat ditingkatkan menjadi 98,9%. Dengan mengurangi ketiga unsur tadi sampai 75%, maka kandungan NaCl bisa sebesar 95,06 persen. Dan dengan kadar lebih dari 95% saja, Indonesia sebenarnya tidak perlu mengimpor garam bahkan dengan keadaan yang demikian seharusnya Indonesia mampu mengekspor garam.
Pengendapan kalsium, magnesium dan sulfat dapat dilakukan tanpa pencucian dari garam yang sudah dihasilkan. Pertama, dengan mengendapkan kalsium dan magnesium sebagai karbonat dan oksalat, dan menghasilkan garam sulfat dengan kristalisasi bertingkat. Sebenarnya karbonat terbentuk karena adanya CO2 di air laut. Sebagai sumber CO2 ada dua pilihan CO2 yang dibeli dari perusahaan penyedia gas atau menggunakan sumber CO2 yang alami dari ikan dan zooplankton. Kedua dengan memperluas lahan pergaraman. Dari hasil studi tahun 1999 menunjukkan bahwa daerah potensial untuk pengembangan lahan pergaraman antara lain meliputi: daerah pantai utara Jawa barat (2.020 ha), Jawa Timur ( 1.583 ha) dan NTB ( 1.230 ha) yang meliputi: pulau Lombok, Sumba dan Sumbawa. Dan semoga bisa terwujud kemampuan garam rakyat untuk meningkatkan kualitasnya setara dengan kualitas ekspor.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu dan produksi serta pendapatan/kesejahteraan petambak garam adalah dengan pembenahan sistem pembinaan SDM dengan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas petambak garam di bidang sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, serta penguatan kelembagaan kelompok dan pembinaan usaha. Contoh nyata yang dilakukan pemerintah khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas dan produktivitas garam rakyat adalah dengan menggelar bimbingan teknis pemberdayaan usaha garam rakyat melalui sosialisasi percepatan produksi garam dengan menggunakan zat aditif Ramsol (garam solusi).
Ramsol adalah bahan/formula aditif yang berfungsi sebagai pembersih dan pemutih dalam proses produksi garam yang berasal dari rumput laut, kulit kerang, dan zeolit. Analisis kelayakan terhadap penggunakan ramsol dalam proses produksi garam secara tradisional menunjukkan Ramsol dapat meningkatkan produksi dan kualitas garam yang dihasilkan, sehingga menguntungkan dari sisi ekonomis. Yakni bisa mempercepat proses pembuatan garam dan melepaskan ketergantungan terhadap sinar matahari. Jika biasanya pembuatan garam memerlukan waktu sekitar 20 hari maka Ramsol cukup dengan 8-10 hari.
Munculnya ide-ide kreatif guna peningkatan kualitas garam merupakan kabar baik bagi dunia pergaraman Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi air lautnya menjadi garam yang kualitasnya mampu bersaing dengan negara lain.
Kabar baik ini, tentunya harus diimbangi dengan dukungan dari pihak-pihak lain, seperti pemerintah, para ahli garam, perusahan garam, petani garam serta masyarakat itu sendiri. Pemerintah harus mendukung dan memfasilitasi upaya pencapaian cita-cita bangsa untuk suasembada garam yang berkualitas internasional. Dengan mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat, serta memberikan perhatian lebih terhadap potensi pertambakan garam, maka pada tahun 2030, Indonesia dengan bangga menyaksikan produk garam yang diproduksinya dapat dikonsumsi setiap orang di seluruh dunia.
Dukungan juga harus datang dari perusahaan garam yang secara langsung melakukan transaksi perdaagangan di tingkat petani garam. Perusahaan-perusahaan garam tidak perlu melakukan kecurangan–kecurangan yang dapat merugikan petani dan juga negara. Jika negara memiliki garam yang berkualitas bagus, ini juga akan menguntungkan perusahaan garam tersebut yaitu jaringan usaha mereka akan semakin luas dengan meninjau semakin besar konsumen garam dalam negeri.
Para ahli juga harus ambil bagian dalam mensukseskan harapan bangsa ini. Ilmu yang mereka miliki dapat disosialisasikan kepada para petani agar mereka menguasai cara pembuatan garam yang memiliki kualitas lebih baik. Dengan memberikan pelatihan tentang ide-ide yang telah ditemukan kepada para petani, diharapkan teknologi yang lebih modern akan memberikan kemudahan dalam menghasilkan garam yang memiliki kualitas lebih baik.
Pihak yang juga berpengaruh adalah petani garam itu sendiri. Petani garam seharusnya membuka pemikiran mereka mengenai peningkatan harga jual garam yang menjadi mata pencaharian mereka. Mereka tidak boleh terlalu fanatik terhadap cara lama yang masih tradisional dalam pembuatan garam. Telah ada beberapa ide dan teknologi yang dapat dimanfaatkan guna mengangkat kehidupan mereka secara ekonomi dan sosial.
Terakhir adalah pihak dari bangsa Indonesia itu sendiri. Adanya upaya peningkatan kualitas garam namun jika bangsanya sendiri tidak peduli dan lebih memilih garam negara lain,  hasilnya juga akan sia-sia. Masyarakatlah yang nantinya menjadi konsumen. Bila mereka saja tak peduli dengan produk dalam negeri bagaimana bangsa lain dapat peduli dengan produk Indonesia.
Untuk mewujudkan tahun 2030 Indonesia suasembada garam berkualitas internasional tentu sangat mungkin. Semuanya memang butuh proses yang membutuhkan waktu cukup lama. Akan tetapi, jika upaya-upaya yang disampaikan di atas mulai dilaksankan sekarang sehingga pihak-pihak terkait  dapat berjalan saling beriringan dan saling mendukung, maka dengan penuh keyakinan, bangsa Indonesia akan berteriak “Indonesia 2030: Indonesia suasembada garam berkualitas internasional”. Indonesia tidak perlu impor garam dari luar negeri lagi melainkan garam Indonesia dapat dinikmati semua orang hingga di pelosok dunia. Jayalah alamku, jayalah negeriku.

2 comments: