GENERASI
MUDA YANG SANTUN DAN PEDULI LINGKUNGAN SEBAGAI REFLEKSI SEMANGAT KARTINI DI ERA
GLOBALISASI
Ahmad
Rifai
Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas
Negari Semarang
1.
PENDAHULUAN
Bulan April merupakan salah satu
bulan bersejarah bagi Negara Indonesia, terutama bagi kaum wanita. Tepatnya
pada tanggal 21 April yang diperingati sebagai hari Kartini, sebagai
penghargaan terhadap kegigihan seorang putri bangsa dalam memperjuangkan
pendidikan khususnya kaum wanita. Berkat semangat dan perjuangan beliau, banyak
kaum wanita yang terinspirasi dan termotivasi sehingga mampu bangkit dari
ketidakadilan yang diterima. Meski pada mulanya semangat Kartini lebih menginspirasi
kaum wanita, namun di era globalisasi seperti ini sudah selayaknya semangat
juang beliau dijadikan teladan bagi generasi muda tanpa mengenal gender.
Semuanya berperan aktif dalam menjaga jati diri bangsa sebagaimana dilakukan
R.A Kartini.
Namun seiring berjalannya waktu, dimana era telah beganti
menjadi sangat terbuka dan arus global yang bergulir dengan cepatnya, mengikis
semangat Kartini yang dulu diperjuangkan. Apabila kita tilik di sekitar kita,
sikap yang ditunjukkan generasi muda saat ini jauh dengan era Kartini, mulai
dari cara berbicara, berbusana, dan cara beretika. Pada era R.A Kartini semua
yang hendak diucapkan perlu dipikirkan kepada siapa dia akan berbicara,
bagaimana cara penyampaian yang baik. Hal ini bertujuan agar apa yang diucapkan
tidak menyinggung perasaan orang yang menjadi lawan bicaranya. Dengan demikian
terjalinlah sikap saling hormat menghormati. Begitu pula dengan sikap yang akan
diambil ketika hendak melakukan suatu hal. Semuanya diatur dalam nilai-nilai
luhur yang tercermin dalam budaya bangsa Indonesia.
Berdasarkan keadaan
lingkungan yang demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi bangsa yang demikan
sudah jauh berbeda dengan apa yang
berkembang pada zaman R.A Kartini, dimana etika dan sopan santun masih terjaga,
baik hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan alam. Maka dari itu,
tindakan apa yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan generasi
yang santun dan beretika lingkungan.?
2. PEMBAHASAN
Menurut
Wikipedia Ensiklopedia Bebas globalisasi adalah suatu proses di mana antar
individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung,
terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Hal ini
memungkinkan perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan baik budaya,
sosial, politik, teknologi, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap perkembangan
suatu negara.
Dampak positif
globalisasi antara lain, mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan, mudah
melakukan komunikasi, cepat dalam bepergian (mobilitas tinggi), menumbuhkan
sikap kosmopolitan dan toleran, memacu untuk meningkatkan kualitas diri, mudah
memenuhi kebutuhan.
Selain memiliki dampak
positif, globalisasi juga memiliki dampak negatif yang besar pengaruhnya.
Dampak negatif globalisasi antara lain, Informasi yang tidak tersaring,
perilaku konsumtif, membuat sikap menutup diri, berpikir sempit, pemborosan
pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk, mudah terpengaruh oleh hal yang
tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara.
Selain itu,
globalisasi juga berdampak buruk terhadap moral bangsa yang semakin hari
semakin menurun. Moral remaja dari tahun ke tahun terus mengalami
penurunan kualitas atau degradasi. Dalam segala aspek moral, mulai dari tutur
kata, cara berpakaian dll. Degradasi moral ini seakan luput dari pengamatan dan
dibiarkan terus berkembang. Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral
remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi
terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak sadar, namun malah
mengikutinya. Kita terus menuntut kemajuan di era global ini tanpa memandang
lagi aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidakseimbangan itulah yang pada
akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak. (Erny Kurnia, 2010)
Akibat degradasi moral yang terjadi salah satu dampak
yang ditimbulkan adalah permasalahan lingkungan. Perilaku yang tidak
mengindahkan etika lingkungan dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan,
akan berpengaruh terhadap pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis
etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan
atau mengganti norma-norma yang seharusnya, dengan norma-norma ciptaan dan
kepentingannya sendiri. Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan
hati nurani. (Jakop Hutapea, 2009)
Sekarang
mari kita tilik beberapa contoh kasus di lapangan. Yang pertama mengenai santun
berbicara atau berbahasa. Bahasa Indonesia yang
susah payah disatukan visinya dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa pemersatu
bangsa setelah berabad-abad bangsa ini terbelenggu dalam penjajahan, kini
seolah luntur termakan waktu. Bukan Bahasa Indonesianya yang hilang tapi
pemaknaan dalam pemakaian bahasa sebagai bahasa yang baik dan santun dalam
kehidupan sehari-hari. Kita melihat, orang lebih suka menggunakan bahasa asing
atau bahasa gaul yang cenderung tidak santun. Bila kita menyimak hiburan di TV, seperti talk show, reality show,
infotainmen atau sinetron, tanpa sadar kita terbawa arus di dalamnya dalam
penggunanan kekerasan berbahasa. Mengejek, menghina, mengintimidasi, menjadi
hal yang biasa sehingga dianggap sebagai Bahasa Indonesia yang harus dipakai
dan parahnya anak kecilpun terbiasa dengan pemakaian bahasa yang kasar dan
tidak santun itu. (Ety Noor, 2008)
Yang
kedua mengenai santun berbusana. Trend
pakaian yang sedang berkembang sekarang ini berupa pakaian ketat dan terbuka.
Pemakai pakaian model ini banyak diikuti oleh para pelajar dan mahasiswa
perembuan. Mereka lebih merasa percaya diri jika pakaiannya sesuai dengan trend yang sedang berkembang. Para
pelajar dan mahasiswa ini rela mengorbankan uang biaya sekolah/kuliahnya demi
memburu trend pakaianyaang sedang berkembang. Penggunaanoakaian yang ketat dan
terbuka, sebenarnya bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Pakaian yang diterima masyarakat berbentuk sederhana,
longgar, dan menutup bagian pusat, bahu, dan pinggang.
Yang
ketiga mengenai etika. Mempertimbangkan
suasana hubungan antar manusia di Indonesia, dapat dirasakan krisis etika. Sebuah suasana dimana
kita sulit menemukan orang-orang santun, mengapresiasi orang lain secara
manusiawi. Sesorang membayar pajak kendaraan bermotor. Oleh
petugas dimintai uang. dia menanyakan berapa tarif yang resmi. Si petugas malah
mengancam "mau diurus pajaknya atau tidak!". Waktu menyeberang jalan saya was was. Mobil dan motor
bukannya memperlahankan laju, justru terus ngebut. Suatu ketika
saya naik angkutan umum. Para pria mengepulkan asap rokok. Kabin mobil jadi
penuh asap rokok. Ibu dan bayi dalam gendongannya jadi diharuskan ikut serta
mengisapnya. Lalu sopirnya membuang botol Aqua menjadi sampah di jalanan.
Akhirnya saya berani bertanya: "Kenapa anda
tidak mengindahkan etika". Jawabnya: "Kalau yang lain melanggar
etika, kenapa kita yang patuh sendiri".
Dari kebiasaan yang demikian secara
tidak langsung berpengaruh terhadap dengan sikap mereka yang tidak peduli
dengan pelestarian lingkungan. Tidak disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadisekarang ini, pada lingkungan
global ataupun nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti
dilaut, hutan, atmosfer, air, dan tanah bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung
jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab
dari kerusakan dan pencemaran lingkungan. (Jakop
Hutapea, 2009)
Melihat
hal tersebut perlu diadakan suatu tindakan agar moral anak bangsa kembali
membaik. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan yang kini juga gencar
dilakukan oleh pemerintah adalah pendidikan karakter. Dimana kurikulum yang ada
didasarkan pada tujuan perbaikan moral anak bangsa.
Namun
seperti yang sudah kita ketahui bahwa pendidikan yang ideal akan terwujud
apabila dilakukan dalam tiga tataran, yaitu keluarga, lembaga pendidikan, dan
lingkungan. Satu dengan yang lain tidak boleh dipisahkan. Keluarga sebagai
tataran dasar yang akan membentuk kepribadian seorang anak. Bila dididik dengan
baik, kemungkinan besar anak tersebut akan menjadi pribadi yang baik juga. Yang
kedua, tataran pendidikan formal. Seperti yang digencarkan pemerintah yakni
dengan kurikulum pendidikan berkarakter. Yang ketiga adalah tataran lingkungan.
Pada tataran ini juga berpengaruh karena tempat seorang anak berkembang sangat
menentukan perkembangan anak yang meliputi pergaulan, kegiatan yang dilakukan,
dan kontrol dari orang tua terhadap kebebasan anak.
Dengan kembali
merefleksikan semangat Kartini dalam momentum hari kartini, marilah kita
bangkit dalam semangat konservasi moral sehingga terwujud generasi yang santun
dan peduli akan lingkungan.
3. PENUTUP
Di
era globalisasi ini, budaya santun dan beretika di negeri ini telah terkikis.
Merupakan hal yang kontras dengan apa yang dulu ada di pada era Kartini, dimana
sopan dan santun dijunjungtinggi oleh bangsa Indonesia. Mengingat hal ini,
sebagai generasi muda, tidakkah terketuk hatinya untuk kembali memperbaiki
budaya santun dan peduli terhadap lingkungan. Lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali. Marilah dalam
momentum hari Kartini ini, kita kembalikan semangat konservasi budaya dan
pelestarian alam sebagaimana semangat R.A Kartini yang tak ernah padam.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment